Hubungan ini sedang diuji. . .
Menunggu terasa mulai menyakitkan sekarang, begitu pun dengan dia, kurasa.
Aku melajukan motorku, tanpa arah dan tujuan, hanya sekedar mengikuti jalan di jakarta yang menuju tengah malam. Aku urungkan niat ku untuk pulang ke rumah. Ada hal yang sedang kucari jalan keluarnya. Tatapanku kosong, pikiranku ruwet, mataku menguji kemampuannya untuk menahan apa yang sedang merajuk untuk keluar. "jangan, jangan keluar, kamu tidak membawa masker. Akan terlihat sekali nanti", begitulah sekiranya percakapan dalam diri terjadi. Tidak peduli kendaraan lain bermain klakson di belakangku, kendaraan ku tetap melaju. Hanya kedua tangan yang berusaha berkoordinasi dengan rem dan gas motor matic yang aku kendarai, berharap aku masih diberikan keselamatan.
Terus dan terus kucari jalan keluarnya. Potongan kalimat satu dengan yang lain saling beradu mencari pembenarannya sendiri. "niat baik itu harus disegerakan". "kamu nggak takut ketemu endah setiap hari ka? Nanti dia minta buru buru dinikahin lagi". "tunggu adekmu selesai dulu. Memang endah nggak mau nunggu dulu?"."nanti kalau sudah nikah, tinggal disini aja. Kan capek tuh setiap hari kerja, jadi nanti ada yang masakin. Pulang tinggal makan".secuplik potongan kalimat yang saling beradu dalam pikiranku.
Aku ingat akan dia yang anak pertama, laki laki sendiri, dan menjadi tulang punggung keluarga. Tentunya aku tidak bisa mengikuti egoku. Aku bukan wanita jahat yang membuatnya memilih antara keluarganya atau aku. Aku pun bukan wanita yang baik hati yang bersedia untuk menunggu terus. Apadaya, aku hanyalah makhluk abu abu.
Aku tidak bisa menceritakan ini dengan dia. Karena aku tahu, pasti akan menambah beban pikirannya. Aku tidak mau. Alhasil aku telan sendiri.
Terus mencari jawaban yang tepat atas semuanyan,belum juga ketemu, akhirnya kuputuskan untuk pulang, daripada makin kalut di jalanan.
Ku tunaikan kewajiban ku. Usai salam ke kiri, tubuhku lunglai ke papan yang menggantikan tembok di kamarku. Apa ini? Tulang belakangku tidak kuat lagi menopang tubuhku, lemas kurasa dari ujung kaki sampai ujung kepala. Terasa sesak di dalam. Akhirnya yang daritadi merajuk untuk keluar, berhasil untuk mengalahkan kekuatan mataku. Tidak lagi keluar satu per satu dengan tertib, semua keluar berebutan tanpa nomor antrian. Tidak mampu lagi lisan untuk berucap, kelu. Hanya hati yang sanggup berbicara, dan mengucap istighfar berkali kali.
Teman teman yang sudah berkeluarga, memiliki anak, makan bersama, bertualang bersama, sampai beribadah bersama. Beruntung sekali mereka yang tidak harus berjuang sepertiku. Tidak, tidak, semua memiliki ceritanya masing masing. Hanya kamu saja yang tidak mengetahui. Sekiranya kapan giliran aku? "saya terima nikah dan kawinnya Endah Primasari Utami...", sekarang kalimat itulah yang aku tunggu, kalimat yang merupakan janji suci.
Sepertinya untuk ke depannya, sebuah pesta pernikahan akan membuat luka tersendiri pada ku. Tidak hanya itu, saat ini mengingat dan melihat wajah nya dia membuat ku sesak. Kapankah semua ini berujung? Menunggu, menanti menjadi hal yang menyedihkan dan menyesakkan sekarang untuk ku.
Pernah ku baca kisah tentang pasangan suami istri yang mendambakan kehadiran seorang anak. Mereka bisa berbagi cerita, saling menguatkan satu sama lain. Tapi beda halnya dengan kasusku ini. Aku hanya bisa menelannya sendiri. Sendiri di rumah membuat rasa itu makin menjadi. Beruntung aku masih mengingat Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar